Kumpulan Puisi WS Rendra (SAJAK SEORANG TUA DI BAWAH POHON)
Oleh : W.S. Rendra
Inilah
sajakku,
seorang tua yang berdiri di bawah pohon meranggas,
dengan kedua tangan
kugendong di belakang,
dan rokok kretek yang padam di
mulutku.
Aku memandang
zaman.
Aku melihat gambaran ekonomi
di etalase toko yang penuh merk
asing,
dan jalan-jalan bobrok antar desa
yang tidak memungkinkan
pergaulan.
Aku melihat penggarongan dan pembusukan.
Aku meludah di atas
tanah.
Aku berdiri di muka
kantor polisi.
Aku melihat wajah berdarah seorang demonstran.
Aku melihat kekerasan tanpa
undang-undang.
Dan sebatang jalan panjang,
punuh debu,
penuh kucing-kucing
liar,
penuh anak-anak berkudis,
penuh serdadu-serdadu yang jelek dan
menakutkan.
Aku berjalan menempuh
matahari,
menyusuri jalan sejarah pembangunan,
yang kotor dan penuh
penipuan.
Aku mendengar orang berkata :
"Hak asasi manusia tidak sama
dimana-mana.
Di sini, demi iklim pembangunan yang baik,
kemerdekaan berpolitik harus
dibatasi.
Mengatasi kemiskinan
meminta pengorbanan sedikit hak
asasi"
Astaga, tahi kerbo apa ini !
Apa disangka kentut
bisa mengganti rasa keadilan ?
Di negeri ini hak asasi
dikurangi,
justru untuk membela yang mapan dan kaya.
Buruh, tani, nelayan, wartawan,
dan mahasiswa,
dibikin tak berdaya.
O, kepalsuan yang
diberhalakan,
berapa jauh akan bisa kaulawan kenyataan kehidupan.
Aku mendengar bising
kendaraan.
Aku mendengar pengadilan sandiwara.
Aku mendengar warta
berita.
Ada gerilya kota merajalela di Eropa.
Seorang cukong bekas kaki
tangan fasis,
seorang yang gigih, melawan buruh,
telah diculik dan dibunuh,
oleh golongan
orang-orang yang marah.
Aku menatap senjakala
di pelabuhan.
Kakiku ngilu,
dan rokok di mulutku padam
lagi.
Aku melihat darah di langit.
Ya ! Ya ! Kekerasan mulai mempesona
orang.
Yang kuasa serba menekan.
Yang marah mulai mengeluarkan
senjata.
Bajingan dilawan secara bajingan.
Ya ! Inilah kini kemungkinan yang mulai
menggoda orang.
Bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi,
maka bajingan jalanan yang akan
diadili.
Lalu apa kata nurani kemanusiaan ?
Siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini
?
Apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi ?
Bila tidak, kenapa
bajingan resmi tidak ditindak ?
Apakah kata nurani kemanusiaan
?
O, Senjakala yang
menyala !
Singkat tapi menggetarkan hati !
Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan
dan bintang-bintang !
O, gambaran-gambaran
yang fana !
Kerna langit di badan yang tidak berhawa,
dan langit di luar dilabur bias
senjakala,
maka nurani dibius tipudaya.
Ya ! Ya ! Akulah seorang tua !
Yang capek tapi belum
menyerah pada mati.
Kini aku berdiri di perempatan
jalan.
Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing.
Tetapi jiwaku mencoba menulis
sajak.
Sebagai seorang manusia.
Pejambon, 23 Oktober 1977
Potret Pembangunan dalam
Puisi

Posting Komentar